
Uskup Jayapura Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM
Di tengah keadaan di Intan Jaya yang masih memanas dan perdebatan soal program Otonomi Khusus (Otsus) di Papua membuat para pemimpin keuskupan-keuskupan di Tanah Papua yang mengatasnamakan Provinsi Gerejawi Merauke mengeluarkan seruan bersama pada akhir Februari 2021 lalu.
Para pemimpin gereja menyerukan penghentian penyelesaian masalah dengan kekerasan yang kerap menimbulkan korban dari kalangan warga, juga ompongnya pemerintah daerah selama program Otsus berjalan.
Berikut perbincangan lengkap perwakilan Provinsi Gerejawi Merauke yang juga Uskup Jayapura Mgr. Leo Laba Ladjar, OFM dengan Hakasasi.id melalui sambungan telepon.
Akhir Februari lalu, Anda dan sejumlah pemimpin Gereja Katolik di Tanah Papua mengeluarkan seruan, apa yang melatari seruan itu ?
Saat itu situasi di Intan Jaya masih terus tembak menembak. Meskipun kami serukan berulang-ulang untuk berhenti tetapi ada tembak menembak terus. Ini kapan berhenti? Tidak jelas. Karena orang-orang OPM (Organisasi Papua Merdeka) itu pakai sistem perang gerilya jadi semakin sulit dibendung oleh tentara.
Sementara itu pasukan bertambah terus setiap hari dan menimbulkan kecemasan bagi penduduk dan membuat pengungsian ketakutan. Tentara itu tidak tahu membedakan warga sipil karena orang-orang OPM juga menyebar di tengah penduduk. Mereka kebingungan juga mana yang sipil dan mana yang OPM seringkali tidak jelas.
Jadi kami rasa situasi ini akan berlangsung lama kalau kita tidak cari jalan bagaimana supaya mereka bisa berhenti dan itu yang menjadi kecemasan kami.
Sementara itu kami melihat bupati lemah dan tidak tegas sebagai pemerintah setempat yang seharusnya menjaga keamanan dan bertanggung jawab, Malah waktu itu dia seringkali di luar kabupaten.
Apalagi menyangkut kewenangan bupati itu kami rasa bahwa ini momen yang bagus untuk meminta pemerintah membina mereka menjalankan tugasnya karena persis ini awal untuk sejumlah bupati baru selesai pilkada dan baru dilantik. Pemerintah pusat sebagai atasan bisa memberikan suatu petunjuk, kursus kah, atau apalah, persiapan yang lebih baik supaya bupati benar-benar berfungsi. Tiga hal itu yang mendorong kami bersuara.
Apa tanggapan pemimpin Gereja Katolik atas rencana pemerintah meneruskan kembali Otsus?
Di sini debat belum selesai. Ada yang terang-terangan mengatakan tolak Otsus karena gagal, ada yang mengatakan dievaluasi dulu baru diputuskan bagaimana. Jadi diskusi antar pihak-pihak itu memang membingungkan juga. Saya merasa sebenarnya Otsus waktu dibuat pada awal adalah sebuah kompromi politik tapi amat berguna bagi Papua memulai sesuatu.
Untuk memberikan perhatian pokok kepada orang Papua, afirmasi kepada orang Papua, tanggung jawab bagi orang Papua. Pejabat-pejabat dan gubernur yang dipilih berasal dari orang Papua.
Itu yang diputuskan waktu itu sehingga kami rasa bahwa ini harus jalan apalagi kalau pokoknya membangun manusia Papua itu butuh waktu bukan 10 tahun tapi harus jalan terus. Sehingga kita bagaimanapun Otsus ini harus jalan terus tapi harus dievaluasi. Itu yang sebenarnya harus dievaluasi.
Jadi bagi saya tidak ada soal tolak, bagi saya harus ada evaluasi dan jalan terus. Kami harap pemerintah pusat dalam memperbaharui UU Otsus itu betul-betul memperhatikan saran-saran dari daerah supaya jangan menimbulkan debat terus menerus.
Menurut Anda apa yang harus dievaluasi dari program Otsus tersebut?

“Saya minta kebijakan otonomi khusus Papua dan Papua Barat ini dikonsultasikan dengan seluruh komponen masyarakat yang ada di Papua maupun Papua Barat. Ini penting sekali,”
Presiden Jokowi dalam Ratas di Istana (Tirto, 11/03/2020)
Pertama secara umum pelaksanaan UU Otsus itu sendiri. Tidak ada perangkat-perangkat untuk eksekusi undang-undang itu. Jadi yang dibutuhkan apakah peraturan daerah khusus (perdasus) kah atau perangkat hukum lain supaya menjadi kuat. Sehingga hal-hal yang menyangkut pelaksanaan keadilan hukum atau HAM dan sebagainya ini dikatakan mesti dibentuk sebuah Komisi Keadilan dan Perdamaian itu tidak pernah dibuat demikian dengan hal lain seperti pendidikan dan sebagainya.
Bagaimana melaksanakan UU tu tidak ada tindakan nyata dari pemerintah daerah dan juga alasan dari pusat juga tidak dibuat. Jadi kami rasa bahwa UU yang bagus itu ya tidak terlaksana, selama ini jadi sisipan saja. Jadi orang bergerak sesuai dengan apa yang dirasa perlu sehingga ribut banyak tapi tidak bisa dilaksanakan.
Demikian juga masalah pendidikan, masalah kesehatan, banyak sekolah dan guru-guru jalan kaki tidak ada tindakan. Lalu apa itu keluh kesah mengenai dana Otsus akhirnya memakai dana Otsus yang seharusnya untuk membangun kampung-kampung juga desa-desa tapi banyak disalahgunakan. Ini hal-hal yang menunjukan banyak gagal secara dasar.
Ada beberapa kabupaten yang saya rasa bagus yang betul merencanakan dengan baik kerjasama dengan perangkat-perangkat di kabupaten dijalankan betul. Ada beasiswa sehingga saya rasa beberapa kabupaten itu memperlihatkan paling tidak menuju keberhasilan hasil positif. Tapi banyak yang cara pemerintahannya, cara penggunaan dana dan sebagainya hanya menimbulkan indikasi perlu diperbaiki dan tetap gagal terus Otsus itu.
Bagaimana peran pemerintah daerah selama berjalannya program Otsus lalu?
Menurut saya justru peran harusnya bupati menurut saya sebagai daerah otonomi seharusnya kuat. Dia bertanggung jawab membangun kesejahteraan daerahnya dan juga keamanan. Tapi sampai sekarang itu bupati benar-benar tidak kelihatan dan kalau saya lihat di UU Otsus tidak dikatakan apa-apa, hanya dikatakan gubernur mengawasi, mengontrol, kerjasama dengan bupati-bupati lain. Tapi tentang bupati sendiri tidak ada rincian yang jelas.
Nah faktanya waktu saya tanya ke orang yang tahu, kalau itu mengikuti UU Otonomi daerah bukan UU Otsus. Nah itulah mungkin karena terlepas dari UU Otsus akhirnya bupati seperti tunggu saja, tidak berfungsi. Itu yang menurut saya kuncinya di peranan bupati di daerahnya harus ditegakan, harus tanggung jawab, harus membantu untuk menata pemerintahan dan membangun kesejahteraan dan keamanan. Juga harus dihormati wibawa dan harga dirinya.
Menurut saya bupati-bupati terlalu banyak dilangkahi oleh polisi tentara. Bupati seakan-akan tidak ada. Itu harus ditegakkan lagi.
Anda menyebut program Otsus harus dilanjutkan apakah itu sikap bersama para pemimpin gereja atau belum menjadi sebuah kesepakatan?
Memang kami tidak ada berdiskusi dalam arti bersama-sama mengambil satu suara. Tetapi perasaan umum seperti itu bahwa otsus itu harus dilanjutkan.
Kalau ada kritik soal yang tadi tindakan kekerasan masih ada, apalagi pengadilan ham belum jalan–itu saja kritik dan keberatannya. Pada prinsipnya harus dilanjutkan.
Lalu, terkait insiden di Intan Jaya, bagaimana keadaan terkini di sana?

Pendeta Yeremia Zanambani, Ketua Klasis Gereja Kemah Injil Indonesia (GKII) Hitadipa di Intan Jaya, tewas ditembak pada Sabtu sore, 19 September 2020
Leave A Comment