oleh Aris Santoso (Pengamat Militer)
Monumen adalah bagian dari keindahan kota. Beberapa monumen kemudian berhasil menjadi penanda wilayah (landmark), sehinga kota dimana monumen itu berada dan monumen itu sendiri, secara perlahan akan menjadi sama-sama terkenal. Di Jakarta, kita mengenal Patung Selamat Datang, Monas, Patung Dirgantara (Pancoran), dan seterusnya.
Sementara monumen Panglima Sudirman di ujung Jalan Sudirman (seputaran Bundaran HI), masih dalam proses menuju terkenal.
Namun dalam pandangan saya pribadi, ada sebuah monumen yang justru kurang memberi rasa nyaman, apabila kita memandang dan meresapi monumen tersebut. Monumen dimaksud adalah patung Slamet Riyadi di Kota Solo, di ujung jalan yang kebetulan mengabadikan namanya.
Sumber foto : hidupkatolik.com
Sedikit catatan terkait pencitraan Slamet Riyadi dalam monumen itu: Slamet Riyadi digambarkan dalam posisi siap menembak. Alih-alih memberikan sentuhan keindahan bagi lingkungan di sekitar monumen, patung itu justru mengesankan tokoh yang sedang mengintimidasi warga yang sedang melintas.
Konsep monumen tersebut, seolah memutar jarum jam sejarah, mundur ke era Orde Baru ketika militer dimanfaatkan untuk menjaga kekuasaan. Padahal, patung itu dibangun di masa Reformasi dan diresmikan oleh Joko Widodo (kini Presiden RI), yang saat itu masih menjabat Wali Kota Solo (2007).
Sekadar mengingatkan kembali, Slamet Riyadi sendiri selalu dikenang sebagai pencetus pendirian Korps Baret Merah, meski sudah gugur lebih dahulu di Ambon (November 1950) dalam operasi menumpas RMS, jauh sebelum pasukan yang kini bernama Kopassus itu resmi berdiri pada 16 April 1952. Selain itu Slamet Riyadi adalah seorang perwira tempur terkenal di masa Perang Kemerdekaan (1945-1949), sebagai Komandan Brigade di Solo.


Sumber Foto : tribunnews.com
Dalam pembuatan patung tokoh, selalu ada rujukan yang bisa diproses sebagai model, sehingga ada konsep. Patung Panglima Soedirman, misalnya, selalu digambarkan memakai mantel panjang dan blangkon. Salah satu rujukan patung itu adalah foto Sang Panglima saat menerima defile kehormatan di Yogyakarta sekembali dari perjalanan gerilya yang monumental itu. Lalu, dari mana rujukan patung Slamet Riyadi dalam posisi siap menembak?
Bisa jadi itu adalah imajinasi pemrakarsa atau pihak pemesan, namun imajinasi pun tetap membutuhkan referensi, kalau tidak, interpretasinya bisa kacau. Dengan gambaran seperti itu, patung itu seolah mengintimidasi bagi warga yang melihat, khususnya warga Solo. Kalau sedikit mau berkeringat, pemrakarsa monumen bisa riset sedikit bagaimana aspirasi Kopassus pasca Orde Baru.
Dalam operasi sandi yudha (intelijen) misalnya, generasi Kopassus sekarang berpegang pada prinsip: “mengubah lawan menjadi kawan, kawan menjadi saudara”. Artinya mengoptimalkan pendekatan persuasif, bahwa senjata sama sekali tidak diperlukan, termasuk sekadar pisau komando.
Singkatnya, monumen Slamet Riyadi dengan menggenggam pistol, gagal dalam dua hal, dari estetika maupun semangat zaman.
Salah seorang pendiri Korps Baret Merah yang lain, yakni Kol Inf (Purn) Alex E Kawilarang, memiliki catatan menarik terkait gugurnya Slamet Riyadi. Kabar kematian Slamet Riyadi diterima Kawilarang berdasarkan laporan Mayor Abdullah, seorang dokter yang terus mendampingi Slamet Riyadi, sejak Slamet Riyadi tertembak di Benteng Victoria (Ambon), hingga meninggal dunia.
Laporannya ditulis dalam bentuk puisi:
Overste Slamet Riyadi telah mangkat//Terkabullah kehendaknya//Oleh Tuhan Yang Maha Esa//Ia ingin mati muda.
Leave A Comment